Pada yang pertama, aku pernah meletakkan
beribu asa. Pada yang seharusnya paling berkesan, aku pernah menanamkan
berlaksa impian. Pada setiap angan-angan, aku pernah menaruh kisah indah
kita di setiap bagian. Karena harapanku pernah sebesar cinta yang
pernah kita banggakan. Pada
yang pertama, akhirnya aku berjabat tangan dengan cinta. Pada yang
pertama, aku meletakan percaya. Pada yang pertama, disitulah ternyata
kecewa bermula.
Aku
tak pernah menyangka, berbangga adalah sesal yang tertunda. Sepertinya
salah, jika berkali-kali demi mengatasnamakan kepercayaan aku mengalah.
Selalu
ada yang pertama untuk segala hal. Termasuk diantaranya cinta, juga
luka. Dan bagiku, kamulah kedua-duanya. Sebelum denganmu, tak pernah
sejauh ini rasaku mau berjalan. Sebelum kehadiranmu, tak pernah sedalam
ini cinta mampu kurasakan. Pun, sebelum kita bersama, belum pernah sedih
mampir begitu lama.
Lalu aku
teringat kata pepatah; betapa memang selalu ada beberapa keinginan yang
tidak sejalan dengan kenyataan. Aku percaya pada semesta yang membawakan
kesedihan, namun juga menjadi pendidik untukku bisa menerima keadaan.
Walau harus sendirian aku merekatkan kembali kepingan-kepingan hati
akibat kekecewaan. Walau harus sendirian aku menguatkan diri dengan
berbagai dukungan yang kubuat sendiri.
Pada yang pertama, aku pernah merasakan bagaimana pahitnya cinta yang mereka rangkai dengan penuh bahagia. Mungkin
lukanya terasa ganda. Kamulah penggerak pintu hati agar terbuka oleh
cinta dan pemaksa hati tertutup oleh luka. Dua-duanya kucicipi lewat
satu nama.
Aku tak tahu kapan hati ini sembuh, atau
malah lukanya semakin melepuh. Aku tak tahu masih adakah percaya yang
bisa kuberi pada yang nanti akan mengganti setelah kecewa menggerogoti
hati.
Apakah cinta
begini yang dulu kau janjikan untuk kucicipi? Apa semua pemberi cinta
seperti ini? Menyodori bungkusan kebahagiaan, dengan isi penuh racun
pembasmi hati.
Bukan
berakhir bahagia namanya, jika terus menerus kamu memberi kecewa.
Padahal angan-angan terlanjur kuterbangkan begitu tinggi, menyentuh
langit teratas rencana-rencana yang telah kita sepakati. Nyatanya, kamu
bagaikan awal yang justru membuatku ingin mengakhiri. Kamu
memperkenalkan aku manisnya cinta, kemudian mengajakku mencicipi
pahitnya terluka. Sukses, aku dibuat menyesal menjadikanmu yang pertama.
Bersamamu,
bahagia pernah lewat meski waktunya hanya sesaat. Bersamamu, sela-sela
jemari seperti menemukan pengisi di antara namun hanya sementara.
Bersamamu, rindu menemukan titik terakhirnya untuk berlabuh tapi
kemudian harus kembali melangkah dengan semangat yang tak lagi utuh.
Langkah-langkah
kaki masih ingin menujumu, pertama yang juga sudah menanamkan ragu.
Namun logika sudah enggan, dan ini mungkin sudah saatnya untuk kita
saling melupakan; membukakan kesempatan untuk cinta yang kesekian.
Ini
batas terakhir, kepadamu cinta akan mengalir. Jika kepadamu hati hanya
penuh dengan perban disana-sini, aku enggan untuk menjalani dan berharap
kembali. Aku undur diri dalam menaruh peduli. Aku angkat kaki atas
ruang mimpi yang belum terbenahi. Aku melepaskan jabatan untuk selalu
memberi perhatian. Aku bersiap menyudahi tetes air mata yang jatuh di
pipi. Jika bukan kepadamu cinta bekerja dengan sempurna, maka aku
percaya hati punya ruang bagi yang benar-benar mencintainya. Mungkin dia
yang akan mengembalikan senyumku lagi.
Tersakiti adalah masa transisi untuk mendewasakan hati. Tersakiti mungkin adalah perantara bagi siklus bahagia selanjutnya. Pada yang pertama, hati telah mencicipi bermacam rasa.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkomentar dengan baik